Sunday 10 March 2024

Penentuan Awal Ramadahan


Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaimana cara kita menyikapi perbedaan tersebut? 
Jawab :
Bismillah
Waalaikumsalam wararahmatullahi WA barakatuh 
Perbedaan tersebut sering terjadi karena perbedaan metode bagaimana menentukan awal bulan. Ada yang menggunakan metode hisab dan rukyah. Perbedaan tersebut juga disebabkan perbedaan kriteria teknik pelaksanaan metode hisab. 

Misal  Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) mengeluarkan kriteria imkan rukyah hilal Nahdlatul Ulama melalui Surat Keputusan LF PBNU No. 001/SK/LF–PBNU/III/2022 Tentang Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama.

Lembaga Falakiyah dalam lampiran surat keputusannya menyebut ketinggian hilal awal Ramadhan 1443 H minimal 3 (tiga) derajat.

“Tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi hilal minimal 6,4 derajat,” demikian bunyi surat keputusan yang ditandatangani Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa dan Sekretaris LF PBNU. 

Ketinggian hilal minimal 3 derajat pada kriteria imkan rukyah NU ini menjadi dasar pembentukan almanak Nahdlatul Ulama dan dasar penerimaan laporan rukyah hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyyah pada kalender Hijriyyah Nahdlatul Ulama.

Kriteria imkan rukyah NU putusan LF PBNU ini mulai diberlakukan sejak awal Ramadhan 1443 H. 

Imkan rukyat merupakan bagian dari metode hisab hakiki yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan pada sore hari konjungsi (ijtimak). Dalam metode ini, penanggalan berbasis peredaran bulan disebut memasuki perhitungan baru bila pada sore hari ke-29 bulan qamariah berjalan saat matahari terbenam, bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian sedemikian rupa yang memungkinkannya untuk dapat dilihat.

Sementara di negara lain seperti Mesir sudut ketinggian hilal minimal 4 derajat, di komunitas Muslim Amerika minimal 15 derajat. Kriteria-kriteria ini hanya didasarkan pada kesepakatan belaka bukan alasan astronomis.

Sedang Muhamadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal (antara arsi merah dan putih), Dalam metode wujudul hilal, bulan qamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu pertama, telah terjadi ijtimak, kedua, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam dan ketiga, pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.

Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan baru merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat.

Sama seperti imkan rukyat, metode wujudul hilal juga bagian dari hisab hakiki. Jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapapun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru. 

Hal inilah yang menyebabkan perbedaan yang terjadi di Indonesia. 

Namun sebenarnya Penentuan hari raya, baik masuknya Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah, sebenarnya bukanlah wewenang pribadi dan kelompok  masyarakat. Sejak zaman salaf, hal itu merupakan wewenang negara/penguasa, selama penguasa itu masih muslim terlepas apakah penguasa itu shalih atau tidak.

Jika banyak individu atau ormas memutuskan sendiri, padahal ormas jumlahnya begitu banyak, lalu tidak ada keseragaman pandangan di antara mereka, maka, bisa  dibayangkan mungkin akan terjadi versi hari raya yang begitu banyak.

Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma menceritakan:

تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah ﷺ  bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa" (HR. Abu Daud )

أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi ﷺ ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi ﷺ memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi )

Di hadits ini menunjukkan, Ibnu Umar tidak memutuskan sendiri, atau orang-orang yg melihat hilal pun tidak memutuskan sendiri, tapi tetap dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai pemimpin saat itu, lalu Beliau yang memutuskan. Hadits yang kedua juga demikian, orang-orang yang sudah melihat hilal tidak memutuskan sendiri tapi dilaporkan dulu ke Rasulullah sebagai pemimpin.

Di hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi ) 

Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” 

Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam   Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:

وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ

“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada  pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)

Ormas, para pakar, posisinya sebagai partner, teman diskusi, dan pemberi masukan. Ketika belum ada keputusan, maka silahkan eksplorasi berbagai dalil dan sudut pandang, jangan dibatasi. Tapi ketika sudah ada keputusan pemerintah maka sebaiknya keputusan pemerintah ini dipatuhi bersama. 

Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُ عَنْ مَذْهَبِهِ لِمَذْهَبِ الْحَاكِمِ وَتَتَغَيَّرُ فُتْيَاهُ بَعْدَ الْحُكْمِ

Ketahuilah, bahwa keputusan pemimpin dalam masalah yang masih diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim  (pemimpin) dan dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim. (Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)

Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:

فإذا حكم ولي أمر المسلمين بحكم ترى أنت أن فيه معصية، والمسألة من مسائل الخلاف فيجب عليك طاعته، ولا إثم عليك؛ لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف

Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan perselisihan. (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah Al Islamiyah)

Demikianlah, dalam peribadatan yang sifatnya kolektif (jama'i) seringkali kita harus mengalahkan emosi dan fanatisme kelompok dan pribadi demi kebersamaan umat Islam. Kebersamaan itu harus nyata dan nampak, bukan hanya teori saja.

Wallahu A'lam.

Wednesday 13 December 2023

Benarkah Nabi Lahir 12 Rabiul Awal?



Masalah ini mulai sering dimunculkan agar menjadi ragu dengan kelahiran Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallama, sehingga tidak melakukan perayaan Maulid Nabi di tanggal 12 Rabiul Awal tersebut.
Berkenaan dengan kelahiran Rasulullah ini meliputi 3 pembahasan, hari lahirnya, tahun kelahirannya dan tanggal kelahirannya.
Hari Lahir Nabi
Ulama sepakat kelahiran Rasulullah adalah hari Senin sebagaimana dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim
Tahun Kelahiran Nabi
Dijelaskan dalam banyak hadis disebutkan:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفِيْلِ. رواه البزار والطبراني في الكبير ورجاله موثقون (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق - ج 1 / ص 242)
“Ibnu Abbas berkata: Rasulullah dilahirkan di tahun gajah” HR al-Bazzar dan al-Thabrani, para perawinya terpercaya
Juga dalam riwayat lain ditegaskan bahwa Qais bin Makhzamah memiliki kesamaan tahun kelahiran dengan Rasulullah di tahun Gajah (HR Ahmad, dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth)
Tanggal Kelahiran Nabi
Imam Nawawi berkata:
وَاخْتَلَفُوا فِي يَوْم الْوِلَادَة هَلْ هُوَ ثَانِي الشَّهْر ، أَمْ ثَامِنه ، أَمْ عَاشِره ، أَمْ ثَانِي عَشَره ؟ (شرح النووي على مسلم - ج 8 / ص 66)
“Ulama beda pendapat tentang hari kelahirannya, apakah hari 2 bulan Rabiul Awal, ke 8, ke 10 ataukah ke 12 ? (Syarah Muslim 8/66)
Dalil Penguat Tanggal 12 Rabiul Awal
- Hadis al-Baihaqi
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ قَالَ : وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً مَضَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ  قَالَ الْبَيْهَقِي رَحِمَهُ اللهُ : وَرَوَيْنَا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ثُمَّ عَنْ قَيْسِ بْنِ مَخْزَمَةَ ثُمَّ عَنْ قبُاَثَ بْنِ أَشِيْمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ عَامَ الْفِيْلِ وَكَانَ الزُّهْرِي وَمَنْ تَابَعَهُ يَقُوْلُوْنَ وُلِدَ بَعْدَهُ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ (شعب الإيمان - ج 2 / ص 134)
Muhammad bin Ishaq berkata: “Rasulullah dilahirkan pada 12 malam bulan Rabiul Awal”. Al-Baihaqi berkata: “Kami meriwayatkan dari Ibnu Abbas kemudian dari Qais bin Makhzamah kemudian dari Qubats bin Asyim bahwa Nabi dilahirkan pada tahun Gajah. Al-Zuhri dan yang mengikutinya mengatakan bahwa dilahirkan sesudah tahun Gajah. Pendapat pertama lebih sahih (HR al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman)

- Riwayat Ibnu Abi Syaibah
قَالَ أَبُوْ بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ : حَدَّثَنَا عُثْمَانُ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ مَيْنَاءَ عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَا : وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفِيْلِ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ وَفِيْهِ بُعِثَ وَفِيْهِ عُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ وَفِيْهِ هَاجَرَ وَفِيْهِ مَاتَ فِيْهِ انْقِطَاعٌ وَقَدِ اخْتَارَهُ الْحَافِظُ عَبْدُ الْغَنِى بْنُ سُرُوْرٍ الْمَقْدِسِي فِي سِيْرَتِهِ (سيرة ابن كثير - ج 2 / ص 93)
“Jabir dan Ibnu Abbas berkata: “Nabi dilahirkan pada tahun Gajah, hari Senin 12 Rabiul Awal. Di hari Senin beliau diangkat menjadi Nabi, melakukan Mi’raj ke langit, hijrah ke Madinah dan hari Senin beliau wafat” Sanadnya terputus dan dipilih oleh al-Hafidz Abd al-Ghani bin Surur al-Maqdisi  dalam kitab sejarahnya” (Sirah Ibni Katsir, 2/93) Juga dapat dilihat dalam al-Bidayah wa Nihayah Ibnu Katsir.

- Ahli Hadis al-Munawi
(تنبيه) الْأَصَحُّ أَنَّهُ وُلِدَ بِمَكَّةَ بِالشُّعَبِ بِعِيْدِ فَجْرِ الْاِثْنَيْنِ ثَانِيَ عَشَرَ رَبِيْعَ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ (فيض القدير - ج 3 / ص 768)
“Pendapat yang lebih sahih bahwa Nabi dilahirkan di Kabilah Quraisy pada fajar hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah” (Faidh al-Qadir 3/768)
Bahkan ulama Salafi pun berpendapat 12 Rabiul Awal:
- Syaikh Bin Baz
فتوى رقم (3474):
س: أُرِيْدُ التَّعَرُّفَ عَنْ حَيَاةِ الرَّسُوْلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى وُلِدَ؟ ... 
ج: وُلِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً مَضَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ ... (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء - ج 6 / ص 277)
“Fatwa No 3474: Soal: Saya inging mengetahui kehidupan Rasulullah Muhammad shalla Allahu alaihi wa sallama, kapan dilahirkan?
Jawab: “Nabi dilahirkan di hari Senin, 12 malam di bulan Rabiul Awal tahun Gajah” (Fatawa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiah wa al-Ifta’, 6/277)
- Syaikh Abdullah al-Faqih
وَأَكْثَرُ أَهْلِ السِّيَرِ عَلَى أَنَّهُ وُلِدَ يَوْمَ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ، بَعْدَ الْحَادِثَةِ بِخَمْسِيْنَ يَوْماً (فتاوى الشبكة الإسلامية - ج 44 / ص 50)
“Kebanyakan ahli sejarah bahwa Nabi dilahirkan pada 12 Rabiul Awal, tahun Gajah, setelah 50 hari dari peristiwa tersebut” (Fatawa al-Syabkah al-Islamiyah, 44/50)
فَالْمَشْهُوْرُ فِي كُتُبِ السِّيْرَةِ النَّبَوِيَّةِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ فِي الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيْلِ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ (فتاوى الشبكة الإسلامية - ج 126 / ص 120)
“Pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab sejarah kenabian bahwa Nabi dilahirkan pada 12 Rabiul Awal, tahun Gajah” (Fatawa al-Syabkah al-Islamiyah, 126/120)
سيرة ابن كثير - (ج 1 / ص 392)
 و قال ابن عباس : ولد نبيكم محمد صلى الله عليه و سلم يوم الاثنين و نبئ يوم الاثنين ثم قيل : كان ذلك في شهر ربيع الأول كما تقدم عن ابن عباس و جابر أنه ولد عليه السلام في الثاني عشر من ربيع الأول يوم الاثنين و فيه بعث و فيه عرج به إلى السماء
فتاوى الأزهر - (ج 8 / ص 255)
روى عن جابر وابن عباس :
ولد رسول الله صلى الله عليه وسلم عام الفيل يوم الاثنين الثانى عشر من ربيع الأول ، وفيه بعث وفيه عرج به إلى السماء وفيه هاجر وفيه مات أى فى شهر ربيع الأول ، فالرسول صلى الله عليه وسلم نص على أن يوم ولادته له مزية على بقية الأيام ، وللمؤمن أن يطمع فى تعظيم أجره بموافقته ليوم فيه بركة ، وتفضيل العمل بمصادفته لأوقات الامتنان الإِلهى معلوم قطعا من الشريعة، ولذا يكون الاحتفال بذلك اليوم ، وشكر الله على نعمته علينا بولادة النبى وهدايتنا لشريعته مما تقره الأصول
الفصول في السيرة - (ج 1 / ص 219)
 و قال السهيلي ما زعم أنه لم يسبق إليه : من أنه لا يمكن أن تكون وقفته يوم الجمعة تاسع ذي الحجة ثم تكون وفاته يوم الإثنين الثاني عشر من ربيع الأول بعده سواء حسبت الشهور كاملة أم ناقصة أم بعضها كاملا و بعضها ناقصا 
 و قد حصل له جواب صحيح في غاية الصحة و لله الحمد أفردته مع غيره من الأجوبة و هو أن هذا إنما وقع بحسب اختلاف رؤية هلال ذي الحجة في مكة و المدينة فرآه أهل مكة قبل أولئك بيوم و على هذا يتم القول المشهور ولله الحمد والمنة
تحفة الأحوذي - (ج 9 / ص 26)
 قَالَ اِبْنُ الْجَوْزِيِّ فِي التَّلْقِيحِ : اِتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ عَامَ الْفِيلِ وَاخْتَلَفُوا فِيمَا مَضَى مِنْ ذَلِكَ لِوِلَادَتِهِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا أَنَّهُ وُلِدَ لِلَّيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ ، وَالثَّانِي لِثَمَانٍ خَلَوْنَ مِنْهُ ، وَالثَّالِثُ لِعَشْرِ خَلَوْنَ مِنْهُ ، وَالرَّابِعُ لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْهُ اِنْتَهَى .

Tuesday 31 October 2023

Apa Hukum Suami yang tidak Menafkahi Istri?

Pertanyaan :
Assalamualaikum
Apa hukum suami tidak menafkahi Istri? Apakah suami tetap memiliki hak sebagai suami?
Lalu apakah nafkah itu berkaitan dengan ketaatan istri dalam pernikahan, maksudnya apakah seorang istri boleh tidak taat jika tidak dinafkahi?
XXXXX

Jawab :
Wa'alaikumussalam WA rahmatullahi WA barakatuh.
Secara Bahasa, kata nafkah berasal dari Bahasa arab ( نفقة ) yang berasal dari kata nafaqa dan berimbuhan hamzah anfaqa yunfiqu infak atau nafaqah. Dalam Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Murtadla al-Zabidi mendifinisikan nafkah adalah harta yang diberikan kepada diri sendiri atau keluarga. nafkah juga diucapkan dengan infak yang diambil dari kata yang sama nafaqa.
Dan dalam Lisanu al-‘Arab, Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa kata nafkah atau infak merupakan sinonim kata shadaqah dan ith’am (memberi makan). Infak dinamakan shadaqah jika seseorang yang mengeluarkan hartanya dengan kejujuran (keikhlasan) dari hatinya.
Nafkah menurut syara’ adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Menurut para ahli fiqih definisi nafkah adalah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang dan papan termasuk kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tanggga.
 Allah memerintahkan seseorang memberi nafkah kepada keluarga berdasarkan dari firman Allah swt berikut, Surat al-Baqarah ayat 233
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli warispun seperti itu. (QS. Al-Baqarah: 233)
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ – ٧
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (QS. At-Talaq: 7)
قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ 
Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, memberi nafkah adalah kewajiban bagi seroang suami tetapi itu disesuaikan dengan kemampuan dan kadar rizkinya. Jika ia kaya maka ia menafkahi keluarganya sesuai dengan kekayaannya, tetapi jika ia miskin ia menafkahi keluarganya sesuai dengan rizkinya. Dan nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada yang berlaku di masyarakat setempat. Dan tidak ada yang mengetahui kadar kemampuan seseorang dalam memberi nafkah kecuali dirinya, karena itulah ia sendiri yang bisa menyesuaikan dengan kondisinya dalam memberi nafkah kepada keluarganya.
Meski memberi nafkah merupakan sebuah kewajiban, tetapi hal itu tidak perlu ditakutkan dan dirisaukan oleh seorang suami yang menjadi kepala rumah tangga. Sebab sebagaimana dijelaskan Allah swt telah menjamin rezeki setiap orang.
وَيَقْدِرُ لَهٗ ۗوَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ – ٣٩
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)
 Ayat ini menjelaskan bahwa rizki itu sudah ditentukan Allah swt; lapang dan sempitnya. Dan menariknya, Allah telah berjanji bahwa segala nafkah atau infak yang dikeluarkan akan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah swt yang maha pemberi rezeki.
Tidak hanya itu, memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak terbaik yang dikeluarkan seseorang dari pada infak yang dikeluarkan untuk berjihad di jalan Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abdurrahman Tsauban berikut.
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجرًا الذي أنفقته على أهلك».
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda,: “Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dan dinar yang kamu infakkan untuk memerdekan budak, dan dinar yang kamu shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang yang kamu infakkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu”. (HR Muslim)
Sehingga dapat kita simpulkan orang yang mampu memberi nafkah tetapi tidak memberi nafkah kepada keluarganya merupakan hal yang dilarang dan mendapat dosa. Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma’.
Adapun dalil-dalil dari hadits, antara lain:
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,”Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud].
Pada saat haji wada’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik). [HR Muslim].
Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah dalam al Iqna fii Masailil Ijma’  menukilkan Ijma’ tentang masalah masalah nafkah, dengan perkataan beliau: “Ahlul ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)”. 
Lalu berapa besaran nafkah tersebut? 
Menurut Imam Asy-Syafii (w. 204 H) sebagaimana yang beliau tulis di dalam kitabnya Al-Umm sebagai berikut :
[باب قدر النفقة] (قال الشافعي) قال والنفقة نفقتان نفقة الموسر ونفقة المقتر عليه رزقه وهو الفقير ..قال وأقل ما يلزم المقتر من نفقة امرأته المعروف ببلدهما قال فإن كان المعروف أن الأغلب من نظرائها لا تكون إلا مخدومة عالها وخادما لها واحدا لا يزيد عليه وأقل ما يعولها به وخادمها ما لا يقوم بدن أحد على أقل منه وذلك مد بمد النبي - صلى الله عليه وسلم “
في كل يوم من طعام البلد الذي يقتاتون حنطة كان أو شعيرا أو ذرة أو أرزا أو سلتا ولخادمها مثله ومكيلة من أدم بلادها زيتا كان أو سمنا بقدر ما يكفي ما وصفت من ثلاثين مدا في الشهر ولخادمها شبيه به.
ويفرض لها في دهن ومشط أقل ما يكفيها ولا يكون ذلك لخادمها لأنه ليس بالمعروف لها
(قال الشافعي) : وإن كانت ببلد يقتاتون فيه أصنافا من الحبوب كان لها الأغلب من قوت مثلها في ذلك البلد وقد قيل لها في الشهر أربعة أرطال لحم في كل جمعة رطل وذلك المعروف لها،
وفرض لها من الكسوة ما يكسي مثلها ببلدها عند المقتر وذلك من القطن الكوفي والبصري وما أشبههما ولخادمها كرباس وتبان وما أشبهه
وفرض لها في البلاد الباردة أقل ما يكفي في البرد من جبة محشوة وقطيفة أو لحاف وسراويل وقميص وخمار أو مقنعة ولخادمها جبة صوف وكساء تلتحفه يدفئ مثلها وقميص ومقنعة وخف وما لا غنى بها عنه وفرض لها للصيف قميصا وملحفة ومقنعة قال وتكفيها القطيفة سنتين والجبة المحشوة كما يكفي مثلها السنتين ونحو ذلك.. إلخ..
Imam syafi’i berkata : dan nafkah itu terdapat dua macam: nafkah ketika lapang dan nafkah ketika sempit rezekinya yaitu seorang yang faqir¦ dan nafkah yang paling sedikit yang harus dikeluarkan oleh seorang suami yang sempit rezekinya adalah yang sesuai dengan adat negaranya, walaupun yang ma’ruf namun mayoritas adalah dilayani kebutuhannya, pembantu untuknya, dan tidak lebih dari itu.
Dan paling sedikit dari apa yang dia berikan kepadanya dan melayaninya apa yang tidak dilakukan seseorang yang lebih sedikit darinya, yaitu 1 mud dengan ukuran mudnya Nabi setiap hari dari makanan yang dia makan di negaranya baik itu gandum dengan segala jenisnya hinthah, sya’ir (jelai), jagung, nasi, atau jenis gandum (jenis makanan), dan untuk pembantunya juga sama seperti itu.
Dan lauk yang sesuai dengan negaranya, baik itu minyak, lemak secukupnya kira-kira 30 mud dalam waktu sebulan, dan begitu pula sama dengan pembantunya, dan menyediakan baginya minyak rambut dan sisir sesuai dengan kecukupannya, dan tidak memberikan itu kepada pembantunya, karena ini bukan suatu adat untuknya.

(Imam syafi’i berkata): jika si istri dari Negara yang makanan pokoknya adalah segala jenis biji-bijian maka untuknya biji-bijian yang mayoritas dikonsumsi di Negara tersebut. Dan ada yang berpendapat: untuknya daging 4 rithl dalam sebulan, setiap jum’at 1 rithl daging dan itu yang ma’ruf di negaranya.
Dan menyediakan untuknya pakaian yang sesuai dengan kebiasaan negaranya sesuai dengan kondisi suaminya yang kurang, yaitu bahan kapas buatan Kufah , Bashrah dan sejenisnya, dan untuk pembantunya seperti ribas (katun putih), tubban (pakaian) dan sejenisnya.
Dan menyediakan untuknya di Negara yang dingin paling tidak yang cukup untuk menahan dingin dari jubbah yang kasar, jaket, selimut, celana, baju kemeja, penutup kepala, jenis baju untuk menahan dingin. Dan untuk pembantunya jubah dari bulu, baju yang dapat memberikan rasa hangat, baju kemeja, penutup kepala, sepatu diatas mata kaki, dan apa saja yang ia butuhkan.
Dan menyediakan untuknya ketika musim panas baju, pakaian yang dapat menutup, dan tutup kepala, dan cukup baginya beludru (sutra) dipakai selama dua tahun, dan jubah dari kain kasar bisa di pakai selama 2 tahun. Dan seterusnya.
Al-Imam Asy-Syafii Al-Umm, jilid 5 hal. 95
Asy-Syirazi (w. 476 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
إذا كان الزوج موسراً وهو الذي يقدر على النفقة بماله أو كسبه لزمه في كل يوم مدان وإن كان معسرا وهولا يقدر على النفقة ولا كسب لزمه في كل يوم مد
وتجب النفقة عليه من قوت البلد
ويجب لها الأدم بقدر ما يحتاج إليه من أدم البلد
ويجب لها ما تحتاج إليه من المشط والسدر والدهن للرأس وأجرة الحمام إن كان عادتها دخول الحمام
ويجب لها الكسوة...ويجب لامرأة الموسر من مرتفع ما يلبس في البلد من القطن والكتان والخز والإبريسم ولامرأة المعسر من غليظ القطن والكتان ولامرأة المتوسط ما بينهما
ويجب لها ملحفة أو كساء ووسادة ومضربة محشوة للنوم ... ويكون ذلك لامرأة الموسر من المرتفع ولامرأة المعسر من غير المرتفع ولامرأة المتوسط ما بينهما
ويجب لها مسكن .... ويكون المسكن على قدر يساره وإعساره وتوسطه كما قلنا في النفقة
وإن كانت المرأة ممن لا تخدم نفسها بأن تكون من ذوات الأقدار أو مريضة وجب لها خادم ...ولا يجب لها أكثر من خادم واحد ... ولا يجوز أن يكون الخادم إلا امرأة أو ذا رحم محرم
وإن كان الخادم مملوكاً لها واتفقا على خدمته لزمه نفقته فإن كان موسراً لزمه للخادم مد وثلث من قوت البلد وإن كان متوسطاً أو معسراً لزمه مد
ويجب أن يدفع إليها نفقة كل يوم إذا طلعت الشمس لأنه أول وقت الحاجة ويجب أن يدفع إليها الكسوة في كل ستة أشهر لأن العرف في الكسوة أن تبدل في هذه المدة
Jika suami seorang yang mapan dan mampu menafkahi dengan hartanya atau hasil kerjanya maka wajib baginya menafkahi setiap hari 2 mud, jika suami tidak mapan dan tidak terlalu mampu menafkahi maka wajib baginya 1 mud. Dan suami wajib memberi nafkah berupa makanan yang biasa dimakan di negaranya.
Suami juga wajib memberi kepada istri makanan pelengkap atau lauk sesuai standar kebutuhan di negara tersebut. Suami wajib menyediakan kebutuhan istri berupa sisir, wewangian, minyak rambut, dan anggaran biaya kamar mandi jika dia terbiasa menggunakan kamar mandi.
Suami wajib menyediakan pakaian. jika istri dari kalangan berada maka wajib baginya pakaian yang terbaik baik dari katun, linen, khaz, dan sutera. Jika suaminya tidak mapan maka bagi istrinya pakaian dari katun kasar dan linen. Jika dari kalangan menengah maka diantara keduanya (antara standar berada dan biasa).
Suami wajib menyediakan selimut dan seprainya, dan bantal, dan hal yang lazim dibutuhkan untuk tidur... dan bagi istri yang suaminya mapan maka dia berhak mendapatkan kualitas terbaik. Dan jika suami tidak mapan maka dia mendapatkan yang kualitaas biasa. Dan istri dari kalangan menengah diantara keduanya.
Wajib menyediakan tempat tinggal. dan tempat tinggal ini disesuaikan dengan kemampuan suami, mapan, tidak mapan, atau menengah, sebagaimana telah disebutkan di bab nafkah.
Jika istri tidak biasa melayani diri sendiri karena dia dari kalangan berada atau karena sakit maka wajib menyediakan pembantu. dan suami tidak wajib menyediakan lebih dari satu .dan pembantu tersebut haruslah seorang wanita atau mahram. Jika pembantu itu adalah milik istri dan mereka sepakat bahwa budak itu digunakan untuk mebnatu suami maka si suamilah yang wajib menafkahi pembantu itu. Jika dia mampu maka wajib memberi 1 dan sepertiga mud makanan pokok di negeri tersebut, jika sari kalangan menengah dan tidak mampu maka wajib memberi 1 mud.
Suami wajib memberi istrinya nafkah harian kepada ketika matahari terbit karena merupakan awal waktu kebutuhan istri dimulai, dan wajib memberi pakaian setiap enam bulan karena biasanya pakaian akan berubah pada masa waktu ini.
 Imam Nawawi (w. 676 H) menuliskan di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin sebagai berikut :
أما نفقة الزوجة، فواجبة بالنصوص، والإجماع، ...: الأول في قدر الواجب وكيفيته وفيه طرفان: الأول فيما يجب وهو ستة أنواع: الأول الطعام، أما قدره، فيختلف باختلاف حال الزوج باليسار والإعسار
الواجب الثاني: الأدم وجنسه غالب أدم البلد من الزيت والشيرج والسمن والتمر والخل والجبن وغيرها ... ويعود الوجه السابق في الطعام أن الاعتبار بما يليق بالزوج، وأما قدره، فقال الأصحاب: لا يتقدر
الواجب الثالث: الخادم. النساء صنفان، صنف لا يخدمن أنفسهن في عادة البلد، بل لهن من يخدمهن، فمن كانت منهن، فعلى الزوج إخدامها على المذهب وبه قطع الجمهور... والاعتبار بالمرأة في بيت أبيها
الواجب الرابع: الكسوة فتجب كسوتها على قدر الكفاية، وتختلف بطول المرأة وقصرها وهزالها وسمنها، وباختلاف البلاد في الحر والبرد
الواجب الخامس: آلات التنظف، فعلى الزوج للزوجة ما تتنظف به، ...والرجوع في قدرها إلى العادة
الواجب السادس: الإسكان فيجب لها مسكن يليق بها في العادة
Nafkah untuk istri merupakan kewajiban berdasarkan nash-nash dan ijma'. Pembahasan pertama tentang hal-hal yang wajib ada enam macam :
Pertama : Makanan pokok, kadarnya berbeda-beda tergantung kondisi finansial suami sedang lapang atau sempit (rezekinya).
Kedua : Lauk atau makanan pelengkap, dan jenisnya disesuaikan dengan kebiasaan di tempat tersebut seperti; minyak, minyak wijen, mentega, kurma, cuka, keju dan sebagainya. dan seperti yang telah dibahas pada makanan pokok, kadarnya disesuaikan dengan kondisi suami.
Ketiga : Pembantu. Wanita ada dua macam, ada yang tidak biasa melayani kebutuhan dirinya sendiri seperti terdapat di beberapa negara, selalu ada yang melayani kebutuhannya, jika istrinya dari kalangan seperti ini, maka suami harus menyediakannya menurut pendapat mazhab ini dan jumhur... dan hal ini kembali kepada kondisi wanita tersebut ketika di rumah orang tuanya...
Keempat : Pakaian, maka wajib memberikan pakaian yang cukup, yang sesuai dengannya; tinggi, pendek, kurus, dan gemuk. Dan juga sesuai dengan kondisi tempat tinggal saat musim panas dan dingin...
Kelima : Alat-alat yang dibutuhkan untuk membersihkan diri. Seorang suami wajib menyediakan untuk istrinya alat-alat yang dibutuhkan untuk membersihkan diri, kadarnya disesuaikan dengan kondisi setempat.
Keenam : Tempat tinggal, suami wajib menyediakan tempat tinggal yang layak disesuaikan dengan kondisi setempat .
Besaran nafkah menurut Imam Syafi'i dalam qoulul qodim serta sebagian ulama-ulama mazhab Syafi’i seperti Ibnu Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Abu Fadhl dan lain-lain, mengatakan bahwa nafkah adalah wajib Alal kifayah atau secukupnya, tidak ada angka tertentu tetapi dikembalikan pada kebutuhan dan kebiasaan.
Seorang suami boleh tidak menafkahi jika ada 5 hal dalam diri istrinya :
1. istri kabur atau pindah dari rumah suaminya ke tempat lain tanpa seizin suaminya atau alasan yang dibenarkan agama. 
Menurut Ibnu Abdin Muhammad Amin bin Umar al-Hanafi dalam kitabnya Radd al-Muhtar jika istri melakukan seperti itu boleh tidak dinafkahi.  
2. istri bepergian tanpa izin dan kebolehan dari suaminya. Menurut Maharati terkait hal ini antara para ulama memasukkan perginya seorang istri tanpa izin dari suami sebagai bentuk nusyuz. Maka mengutip Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, istri tak berhak mendapatkan nafkah dari suami.  
Bahkan dalam Mazhab Syafi'i, seorang istri yang bepergian ibadah sunnah ketika suami tak mengijinkan termasuk bentuk nusyuz. Nusyuz adalah maksiatnya istri atau ketidaktaatan istri terhadap konsekuensi dari nikah yang sah, salah satunya adalah berhubungan badan. 
3. Istri menolak melakukan sesuatu yang diperbolehkan karena akad nikah yang sah, atau disebut nusyuz, kecuali jika memang ada udzur yang diperbolehkan. 
4.  Istri dipenjara karena melakukan tindak pidana 
5. Suami meninggal sehingga ia menjadi seorang janda, dalam hal ini istri berhak mewarisi harta peninggalan suaminya, sesuai dengan bagian yang ditetapkan.
Jadi seorang suami yang memiliki istri yang baik dan dia mampu menafkahi tetapi dia tidak melakukan maka dia berdosa. Bahkan istri boleh mengambil harta suami sebagaimana dalam satu hadits Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)
 Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)

Lalu bagaimana jika seorang suami memang tidak mampu memberi nafkah? Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan.
لزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل
“Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.” Ketika seorang suami ternyata tidak bisa memenuhi kewajiban pemberian nafkah, selama istrinya rela dan lapang dada untuk saling berbagi, maka ikatan pernikahan tetap bisa dipertahankan. Kebijakan semacam ini tercermin dalam Alquran surat al-Talaq: 7 :
 لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. Sebaliknya, ketika istri merasa tidak bisa bersabar akan hal tersebut. Ia boleh menuntut hak tersebut kepada suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, juz VII, hal. 121:
 قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ
“Imam Syafi’i berkata, baik Alquran maupun sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak boleh meninggalkannya sehingga diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersamanya atau pisah dengannya,”

Lalu apakah ada hubungan antara kewajiban taat kepada suami dengan tidak dipenuhinya nafkah. Nafkah adalah kewajiban suami dan hak bagi istri. Dalam Islam jika hak seseorang tidak di berikan maka dia boleh menuntut hak nya. Namun seorang istri yang di dzalimi kemudian dia tetap tetap berlaku adil dengan menjalankan kewajibanya  tentunya akan mendapatkan pahala yang besar.  Allah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 8
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( AL Maidah : 8)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menerangkan dalam Tafsir Munir bahwa hendaklah seorang yang beriman jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran sebagaimana yang kalian janjikan kepada Allah. Seraya mengagungkan dan ikhlas hanya karena Allah. Dan jadilah saksi dengan penuh kadilan tanpa bermaksud menguntungkan seseorang. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil dan menyembunyikan persaksian yang bermanfaat untuk mereka. Berlaku adillah kepada siapapun, karena adil itu lebih dekat kepada takwa Allah, atau karena takut kepada neraka. Dan bertakwalah kepada Allah dengan menjalankan syariat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan dan Maha memberi balasan atas itu.

Jadi sebagai seorang mukmin, jika suaminya berbuat dzalim maka dia tetap harus berbuat adil dengan menjalankan keajiban-kewajibanya. Pilihan tersebut tentunya berat, namun ketika seorang istri memilih untuk tetap bertahan dan taat kepada suaminya maka dia akan mendapatkan keutamaan yang besar.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi).
Yang dimaksudkan dengan hadits di atas adalah jika seorang wanita beriman itu meninggal dunia lantas ia benar-benar memperhatikan kewajiban terhadap suaminya sampai suami tersebut ridha dengannya, maka ia dijamin masuk surga. Bisa juga makna hadits tersebut adalah adanya pengampunan dosa atau Allah meridhainya. (Lihat Nuzhatul Muttaqin karya Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, hal. 149).
Begitu pula ada hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
Dengan ketaatan seorang istri, maka akan langgeng dan terus harmonis hubungan kedua pasangan. Hal ini akan sangat membantu untuk kehidupan dunia dan akhirat.Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan istri yang taat suami itulah yang dianggap wanita terbaik.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai)

Namun jika hal tersebut dirasa berat bagi istri maka, Islam juga memberikan jalan keluar yaitu kebolehan untuk menuntut perceraian.

Temanggung, 1 November 2023
Ta' Rouf Yusuf
Wallahu a’lam

Friday 27 October 2023

Tips Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga

Islam dengan agama yang sempurna telah memerintahkan kedua orang tua untuk saling menunaikan hak masing-masing, agar tidak terjadi sesuatu tidak terpuji.  Diantara hak-hak ini adalah:

1. Ketaatan seorang isteri kepada suami sesuai koridor yang benar. Diriwayatkan oleh al-Bazar dan ath-Thabrani bahwa suatu hari di masa Rasulullah saw. para wanita berkumpul dan mengirim salah seorang utusan kepada beliau, dan berkata kepadanya, 
يا رسول الله، أنا وافدة النساء اليك، هذا الجهاز كتبه الله على الر جال، فان يصيبوا اجروا وان قتلوا كانوا احياء عند ربهم يرزقون، ونحن معشر النساء نقوم عليهم. فما لنا من ذلك؟ فقال رسول الله: اللعب من بقيت من النساء: “ان طا هو الزوج٫ والاعتراف بحقه، يعدل” ذلك، وقليل منكن من يفعله
"Wahai Rasulullah, saya diutus oleh para wanita kepadamu. Allah telah mewajibkan jihad bagi laki-laki. Jika mereka menunaikannya, mereka mendapat pahala. Jika mereka gugur, mereka akan tetap hidup dan diberi rezeki di sisi Allah. Sedangkan kami para wanita yang mengurus mereka, apakah juga mendapat pahala?" Lalu Rasulullah saw. menjawab, "Sampaikan kepada para wanita yang kau temui, bahwa taat kepada suami dan memenuhi haknya adalah sama dengan itu (maksudnya sama dengan pahala jihad di jalan Allah), namun sangat sedikit di antara kalian yang melakukannya."

2. Isteri yang menjaga harta suaminya dan memelihara dirinya sendiri. Rasulullah saw. bersabda, 
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرٍ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ

"Akan aku beritahu kepada kalian semua, sebaik-baik harta simpanan seorang laki-laki adalah wanita salihah. Apabila ia (laki-laki) memandangnya, maka ia (wanita) akan menyenangkannya. Jika suami memerintahnya, ia menaatinya. Dan apabila suami sedang pergi, ia menjaga harta suaminya dan dirinya." (HR. Ibnu Majah)

3. Tidak menolak ajakan suami untuk tidur bersama. Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
 "Apabila seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidur, namun ia menolaknya, lalu malam itu sang suami marah kepadanya, malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh." (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Suami berkewajiban mencari nafkah untuk isteri dan anak-anaknya. Allah Ta'ala berfirman,
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
 "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf." (al-Baqarah: 233)  
اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ.

Rasulullah saw. bersabda, "Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambilnya (menjadi isteri) dengan amanah Allah, dan kalian menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah. Maka, berilah nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang benar (makruf)." (HR. Muslim)

5. Bermusyawarah dengan isteri dalam urusan-urusan rumah tangga. Rasulullah saw. bersabda, 
امروا النساء في بنا تهن 
"Musyawarahkan urusan anak-anak perempuanmu dengan isterimu." (HR. Ahmad dan Abu Daud) 
Maksudnya, minta izin kepada isteri sebelum mereka anak-anak perempuan itu dilamar.

6. Hendaknya seorang suami menutup mata terhadap kekurangan-kekurangan isterinya, terutama bila sang isteri memiliki kebaikan-kebaikan lain yang dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut. Rasulullah saw. bersabda, 
لاَ يَفْرَك مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَة إِنْ كَرِه مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَر
"Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (isteri).  Sebab, bila ada satu hal yang dibencinya (dari isterinya itu) boleh jadi ia ridha pada hal lainnya." (HR. Muslim)

7. Hendaknya seorang suami memperlakukan isterinya dengan baik, lemah lembut terhadapnya dan bercanda bersamanya. Firman Allah, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (an-Nisaa': 19) Rasulullah saw. bersabda,
خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلى
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku di antara kalian. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. memperlihatkan sebuah mainan kepada Aisyah ra. di halaman masjid, Lalu beliau meletakkan telapak tangannya pada pintu dan menjulurkan sebelah tangannya. Lalu Aisyah meletakkan wajahnya pada bahu Rasulullah. 
Abu Daud dan an-Nasa'i meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berlomba lari dengan Aisyah. Suatu ketika Aisyah mengalahkannya. Namun pada hari lainnya beliau mengalahkan Aisyah, lalu berkata. "Ini untuk kekalahan yang kemarin."
Umar ra. yang dikenal sangat kuat dan serius berkata, "Seharusnya seorang laki-laki bertingkah seperti anak kecil saat bersama keluarganya (maksudnya dalam kemesraan dan kemudahan), meski di tengah masyarakat ia bertindak sebagai pria jantan."

8. Hendaknya seorang suami membantu isterinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ini untuk meneladani Nabi saw., seperti yang tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya dari Aisyah ra. Aisyah ditanya, "Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di rumah?" Maka Aisyah menjawab, "Seperti yang kalian
semua kerjakan. Beliau mengangkat dan menurunkan barang-barang, membantu pekerjaan keluarganya, memotong daging,
menyapu lantai, dan menolong pembantu yang sedang bekerja."

Tarbiyatul Aulad fil Islam karya Abdulla bin Nashih Ulwan

Wednesday 18 October 2023

Terjemah Aqidah Thahawiyah


1. Muqoddimah

قَالَ الإِمَامُ أَبُو جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ:

هَذَا ذِكْرُ بَيَانِ اعْتِقَادِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ عَلَىٰ مَذْهَبِ فُقَهَاءِ المِّلَّةِ: أَبِي حَنِيفَةَ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الكُوفِيِّ، وَأَبِي يُوسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الأَنْصَارِيِّ، وَأَبِي عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ الحَسَنِ الشَّيْبَانِيِّ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ، وَمَا يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ، وَيَدِينُونَ بِهِ رَبَّ العَالَمِينَ: 

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata:

Inilah penjelasan tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab ahli fiqih agama ini, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dan Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani semoga Allah merahmati mereka semuanya dan apa yang mereka yakini tentang dasar-dasar agama yang dengannya mereka beragama kepada Rabb Semesta Alam:

2. Tentang Allah

[1] نَقُولُ في تَوحِيدِ اللهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوفِيقِ اللهِ: إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ.

[1] Kami meyakini tentang mentauhidkan Allah, dengan taufik dari Allahbahwa: Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya.

[2] وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ.

[2] Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

[3] وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ.

[3] Tidak ada sesuatu pun yang bisa melemahkan-Nya.

[4] وَلَا إِلٰهَ غَيْرُهُ.

[4] Tidak ada yang berhak disembah selain-Nya.

[5] قَدِيمٌ بِلاَ ابتِدَاءٍ، دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ.

[5] Maha Terdahulu tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir.

[6] لَا يَفْنَى وَلَا يَبِيْدُ.

[6] Dia tidak akan fana dan tidak akan binasa.

[7] وَلاَ يَكُونُ إِلَّا مَا يُرِيدُ.

[7] Tidak ada yang terjadi kecuali apa yang Dia kehendaki.

[8] لَا تَبلُغُهُ الأَوْهَامُ، وَلَا تُدْرِكُهُ الأَفْهَامُ.

[8] Allah tidak bisa dijangkau oleh perenungan dan tidak bisa dijangkau nalar pikiran.

[9] وَلَا يُشْبِهُ الأنَامَ.

[9] Dia tidak menyerupai makhluk.

[10] حَيٌّ لَا يَمُوتُ، قَيُّومٌ لَا يَنَامُ.

[10] Dia Maha Hidup tidak akan mati, Maha Berdiri (mengurus makhluk-Nya terus-menerus) tidak pernah tidur.

[11] خَاِلقٌ بِلاَ حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلاَ مُؤْنَةٍ.

[11] Dia Maha Pencipta tanpa membutuhkan (ciptaan-Nya), Maha Pemberi rezeki tanpa berkurang (kerajaan-Nya).

[12] مُمِيتٌ بِلَا مَخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلاَ مَشَقَّةٍ.

[12] Dia Maha Mematikan tanpa takut, Maha Membangkitkan tanpa rasa berat.

[13] مَا زَالَ بِصِفَاتِهِ قَدِيمًا قَبْلَ خَلْقِهِ، لَمْ يَزْدَدْ بِكَوْنِهِم شَيْئًا لَمْ يَكُنْ قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ، وَكَمَا كَانَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِيًّا؛ كَذَلِكَ لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّا.

[13] Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum ada makhluk-Nya. Dengan terciptanya para makhluk yang sebelumnya tidak ada, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Sebagaimana sifat-sifat-Nya azali (ada sebelum selainnya ada), begitu pula Dia abadi selama-lamanya.

[14] لَيْسَ مُنْذُ خَلَقَ الخَلْقَ اسْتَفَادَ اسْمَ «الخَالِقِ»، وَلاَ بِإِحْدَاثِهِ البَرِيَّةَ اسْتَفَادَ اسْمَ «البَارِي».

[14] Bukan semenjak Dia menciptakan para makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Khaliq (Pencipta), dan bukan pula karena baru menciptakan makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Bari (Pencipta).

[15] لَهُ مَعْنَى الرُّبُوبِيَّةِ وَلَا مَرْبُوبٍ، وَمَعْنَى الخَالِقِ وَلَا مَخْلُوقٍ.

[15] Dia memiliki sifat Rububiyah (Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemberi rezeki) bukan marbub (dicipta, dimiliki, diatur), dan juga memiliki sifat al-Khaliq bukan makhluk.

[16] وَكَمَا أَنَّهُ مُحْيِ المَوْتَى بَعْدَمَا أَحْيَا، اسْتَحَقَّ هَذَا الِاسْمَ قَبْلَ إِحْيَائِهم؛ كَذلِكَ اسْتَحَقَّ اسْمَ الخَالِق قَبْلَ إنْشَائِهِمْ.

[16] Sebagaimana Dia yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi) setelah sebelumnya menghidupkannya, Dia-pun berhak atas sebutan itu sebelum menghidupkan mereka, demikian juga Dia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.

[17] ذَلِكَ بِأَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَيهِ فَقِيرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ يَسِيرٌ، لاَ يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ، {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [الشورى: 11].

[17] Hal itu karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu sangat butuh kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah dan Dia tidak membutuhkan sesuatu. “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

[18] خَلَقَ الخَلْقَ بِعِلْمِهِ.

[18] Dia menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya.

[19] وَقَدَّرَ لَهُمْ أَقْدَارًا.

[19] Dan menentukan takdir-takdir mereka.

[20] وَضَرَبَ لَهُمْ آجَالًا.

[20] Dan menentukan ajal-ajal mereka.

[21] لَمْ يَخْفَ عَلَيهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِهِمْ قَبْلَ أَنْ خَلَقَهُمْ، وَعَلِمَ مَا هُمْ عَامِلُونَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَهُمْ.

[21] Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, sebelum menciptakan mereka.

[22] وَأَمَرَهُمْ بِطَاعَتِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَتِهِ.

[22] Dia memerintahkan mereka mentaati-Nya dan melarang mereka bermaksiat kepada-Nya.

[23] وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِتَقْدِيرِهِ ومَشِيئَتِهِ، وَمَشِيئَتُهُ تَنْفُذُ، لاَ مَشِيئَةَ لِلْعِبَادِ إِلَّا مَا شَاءَ لَهُمْ، فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ.

[23] Dan segala sesuatu berjalan dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendaknya pasti terjadi. Tidak ada kehendak bagi para hamba kecuali apa yang Dia kehendaki bagi mereka. Maka, apa yang Dia kehendaki bagi mereka akan terjadi dan apa yang tidak Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.

[24] يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ، وَيَعْصِمُ ويُعَافِي فَضْلًا، ويُضِلُّ مَنْ يَشاءُ، ويَخْذَلُ وَيَبْتَلِي عَدْلًا.

[24] Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, juga melindungi dan menjaganya dengan keutamaan-Nya. Dia membiarkan sesat siapa yang Dia kehendaki, membiarkannya hina, dan mengujinya berdasarkan keadilan-Nya.

[25] وَكُلُّهُم يَتَقَلَّبُونَ فِي مَشِيئَتِهِ بَيْنَ فَضْلِهِ وَعَدْلِهِ.

[25] Seluruh makhluk berada di bawah kendali kehendak-Nya di antara karunia dan keadilan-Nya.

[26] [وَهُوَ مُتَعَالٍ عَنِ الأَضْدَادِ وَالأَنْدَادِ].

[26] [Dia mengalahkan semua musuh dan tandingan].

[27] لَا رَادَّ لِقَضَائِهِ، وَلَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ، وَلاَ غَالِبَ لِأَمْرِهِ.

[27] Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau mengungguli urusan-Nya.

[28] آمَنَّا بِذَلِكَ كُلِّهِ، وأَيْقَنَّا أَنَّ كُلًا مِنْ عِنْدِهِ.

[28] Kita mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang dari-Nya (terjadi karena takdir-Nya).

3. Tentang Rasulullah

[29] وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ المُصْطَفَى، وَنَبِيُّهُ المُجْتَبَى، وَرَسُولُهُ المُرْتَضَى.

[29] Sesungguhnya Muhammad  adalah hamba-Nya yang terpilihNabi-Nya yang terpilih, dan Rasul-Nya yang diridhai.

[30] وَأَنَّهُ خَاتَمُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِمَامُ الأَتْقِيَاءِ، [وَسَيِّدُ المُرْسَلِينَ، وَحَبِيبُ رَبِّ العَالَمِينَ].

[30] Sesungguhnya beliau adalah penutup para Nabi, imam orang-orang bertakwa, [penghulu para rasul, dan kekasih Rabb semesta alam].

[31] وَكُلُّ دَعْوَى النُّبُوَّةِ بَعْدَهُ فَغَيٌّ وَهَوًى.

[31] Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.

[32] وَهُوَ المَبْعُوثُ إِلَى عَامَّةِ الجِنِّ وَكَافَّةِ الوَرَى بِالحَقِّ وَالهُدَى، [وَبِالنُّورِ وَالضِّيَاءِ].

[32] Beliau diutus kepada seluruh jin dan seluruh manusia dengan membawa kebenaran dan petunjuk, [cahaya dan kemilau].

4. Tentang Kalamullah

[33] وَإِنَّ القُرْآنَ كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى، مِنْهُ بَدَأَ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ قَوْلًا، وَأَنْزَلَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَحْيًا، وَصَدَّقَهُ المُؤْمِنُونَ عَلَىٰ ذَلِكَ حَقًّا، وأَيْقَنُوا أَنَّهُ كَلاَمُ اللهِ تَعَالَىٰ بِالحَقِيقَةِ، لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ كَكَلاَمِ البَرِيَّةِ، فَمَنْ سَمِعَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ كَلاَمُ البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، وَقَدْ ذَمَّهُ اللهُ تَعَالَى وَعَابَهُ وَأَوْعَدَهُ بِسَقَرٍ، حَيْثُ قَالَ تَعَالَىٰ: {سَأُصْلِيهِ سَقَرَ} [المدثر: 26]. فَلَمَّا أَوْعَدَ اللهُ بِسَقَرٍ لِمَنْ قَالَ: {إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ} [المدثر: 25]؛ عَلِمْنَا وأَيْقَنَّا أَنَّهُ قَوْلُ خَالِقِ البَشرِ، وَلَا يُشْبِهُ قَوْلَ البَشَرِ.

[33] Dan sesungguhnya al-Qur’an adalah Kalamullah. Dari-Nya ia bermula tanpa mempertanyakan bagaimana hakikatnya. Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu, dan orang-orang Mukmin membenarkannya dengan sebenarnya dan mereka menyakini bahwa itu adalah Kalamullah secara hakikat, bukan makhluk seperti ucapan makhluk. Barangsiapa yang mendengarnya lalu menyangka bahwa itu adalah ucapan makhluk, maka sungguh dia telah kafir. Sungguh Allah telah mencela, mengecam, dan mengancam orang tersebut dengan Neraka Saqar, yaitu firman-Nya, Kelak Aku akan memasukkannya ke Neraka Saqar.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 26)

Ketika Allah  mengancam dengan Neraka Saqar seseorang yang mengatakanAl-Qur`an ini tidak lain adalah ucapan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 25Maka kami mengetahui dan meyakini bahwa al-Qur`an adalah ucapan Pencipta makhluk dan tidak ada ucapan makhluk yang serupa dengannya.

[34] وَمَنْ وَصَفَ اللهَ تَعَالَى بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي البَشَرِ؛ فَقَدْ كَفَرَ، فَمَنْ أَبْصَرَ هَذَا اعْتَبَرَ، وَعَنْ مِثْلِ قَوْلِ الكُفَّارِ انْزَجَرَ، وَعَلِمَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى بِصِفَاتِهِ لَيسَ كَالبَشَرِ.

[34] Dan barangsiapa yang mensifati Allah dengan makna sifat makhluk, maka dia telah kafir. Maka, siapa yang memperhatikan ini akan mengerti, dan ia akan menahan diri dari menyerupai ucapan orang kafir. Dan dia mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk.

5. Tentang Rukyatullah

[35] وَالرُّؤْيَةُ حَقٌّ لِأَهْلِ الجَنَّةِ، بِغَيْرِ إحَاطَةٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ رَبِّنَا: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [القيامة: 22، 23]، وتَفْسِيرُهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَهُ اللهُ تَعَالَىٰ وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ الرَّسُولِ  فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَىٰ مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا، وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ مَا يَسلَمُ فِي دِيْنِهِ إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ ، وَرَدَّ عِلْمَ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إِلَى عَالِمِهِ.

[35] Ar-Ru`yah (melihat Allah di Surga) benar adanya bagi penduduk Surga, tanpa meliputi dan membagaimanakan (difahami apa adanya), sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Kitab Rabb kita“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabblah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23Tafsirnya adalah sebagaimana yang Allah kehendaki dan ketahui. Setiap hadits shahih dari Rasulullah  tentang hal itu adalah sebagaimana yang beliau sabdakan dan maknanya sebagaimana yang beliau kehendaki. Kita tidak boleh masuk ke dalam permasalahan itu dengan mentakwilnya menggunakan akal-akal kita dan tidak pula mereka-reka menggunakan hawa nafsu kita. Sebab, sesungguhnya tidak ada yang selamat dalam agamanya kecuali orang yang pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya  dan mengembalikan ilmu yang belum jelas baginya kepada yang mengetahuinya.

[36] وَلَا تَثْبُتُ قَدَمُ الإِسْلَامِ إِلَّا عَلَىٰ ظَهْرِ التَّسْلِيمِ وَالِاسْتِسْلَامِ،  فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ عِلْمُهُ، وَلَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيمِ فَهْمُهُ، حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ خَالِصِ التَّوْحِيدِ، وَصَافِي المَعْرِفَةِ، وَصَحِيحِ الإِيمَانِ، فَيَتَذَبْذَبُ بَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيمَانِ، وَالتَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ، وَالإِقْرَارِ وَالإِنْكَارِ، مُوَسْوِسًا تَائِهًا، شَاكًّا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَلَا جَاحِدًا مُكَذِّبًا.

[36] Pijakan Islam seseorang tidak akan kokoh kecuali di atas taslim (pasrah) dan istislam (tunduk). Siapa yang menerka suatu ilmu yang ilmu tersebut tersembunyi baginya dan pemahamannya tidak merasa puas dengan taslim, maka terkaannya itu akan menghalanginya dari kemurnian Tauhid, kejernihan makrifat (mengenal Allah), dan kebenaran iman. Ia akan terkena keraguan antara kafir dan iman, membenarkan dan mendustakan, menetapkan dan mengingkari, selalu was-was, ragu, menyimpang, bukan mukmin yang membenarkan juga bukan penentang yang mendustakan.

[37] وَلَا يَصِحُّ الإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ لِأَهْلِ دَارِ السَّلَامِ لِمَنِ اعْتَبَرَهَا مِنْهُمْ بِوَهْمٍ، أَوْ تَأَوَّلَهَا بِفَهْمٍ، إِذْ كَانَ تَأْوِيلُ الرُّؤْيَةِ وَتَأْوِيلُ كُلِّ مَعْنًى يُضَافُ إِلَى الرُّبُوبِيَّةِ؛ بِتَرْكِ التَّأْوِيلِ، وَلُزُومِ التَّسْلِيمِ، وَعَلَيْهِ دِينُ المُسْلِمِينَ، وَمَنْ لَمْ يَتَوَقَّ النَّفْيَ وَالتَّشْبِيهَ؛ زَلَّ وَلَمْ يُصِبِ التَّنْزِيهَ، فَإِنَّ رَبَّنَا جَلَّ وَعَلَا مَوْصُوفٌ بِصِفَاتِ الوَحْدَانِيَّةِ، مَنْعُوتٌ بِنُعُوتِ الفَرْدَانِيَّةِ، لَيْسَ فِي مَعْنَاهُ أَحَدٌ مِنَ البَرِيَّةِ.

[37] Tidak sah keimanan rukyah ‘melihat Allah’ —bagi penghuni Darus Salam (Surga)— bagi yang suka membayangkan-Nya dengan keraguan atau mentakwilnya dengan akal. Karena penafsiran rukyah dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb adalah dengan tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah agama kaum Muslimin. Barangsiapa yang tidak menghindari penafian dan tasybih (menyerupakan-Nya dengan makhluk), dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri. Sebab, Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.

[38] وَتَعَالَىٰ عَنِ الحُدُودِ وَالغَايَاتِ، وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ المُبْتَدَعَاتِ.

[38] Maha tinggi diri-Nya (Allah terbebas) dari batas-batas (seperti timur dan barat), arah-arah (seperti bawah dan atas), anggota tubuh (seperti tangan dan wajah), organ (seperti saraf dan urat), dan perangkat-perangkat (seperti tongkat untuk memukul). Dia tidak dikelilingi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya.

6. Tentang Isra dan Mi’roj

[39] وَالمِعْرَاجُ حَقٌّ، وَقَدْ أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ  وَعُرِجَ بِشَخْصِهِ فِي اليَقْظَةِ، إِلَى السَّمَاءِ، ثُمَّ إِلَى حَيْثُ شَاءَ اللهُ مِنَ العُلَا، وَأَكْرَمَهُ اللهُ بِمَا شَاءَ، وَأَوْحَى إِلَيْهِ مَا أَوْحَى، [مَا كَذَبَ الفُؤَادُ مَا رَأَى، فَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ فِي الآخِرَةِ وَالأُولَى].

[39] Mi’raj (naiknya Nabi ke  Sidratul Muntaha—tempat tertinggi di langit) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan di malam hari dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh jasmani dalam keadaan sadar, dan juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di langit. Allah memuliakan beliau sesuai kehendak-Nya dan mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di Akhirat.

7. Tentang Telaga

[40] وَالحَوْضُ الَّذِي أَكْرَمَهُ اللهُ تَعَالَىٰ بِهِ غِيَاثًا لِأُمَّتِهِ حَقٌّ.

[40] Haudh (telaga) yang dijadikan Allah kemuliaan baginya sebagai  minuman bagi umatnya benar adanya.

8. Tentang Syafaat

[41] وَالشَّفَاعَةُ الَّتِي ادَّخَرَهَا لَهُمْ حَقٌّ، كَمَا رُوِيَ فِي الأَخْبَارِ.

[41] Syafa’at yang disimpan beliau untuk mereka adalah benar adanya sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.

9. Tentang Persaksian Tauhid dari Keturunan Adam

[42] وَالمِيثَاقُ الَّذِي أَخَذَهُ اللهُ تَعَالَىٰ مِنْ آدَمَ وَذُرِّيَّتِهِ حَقٌّ.

[42] Perjanjian yang diambil Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka dilahirkanbenar adanya.

[43] وَقَدْ عَلِمَ اللهُ فِيمَا لَمْ يَزَلْ عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ الجَنَّةَ، وَعَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ النَّارَ، جُمْلَةً وَاحِدَةً، فَلَا يُزَادُ فِي ذَلِكَ العَدَدِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ.

[43] Semenjak zaman azali, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan masuk Surga dan jumlah yang akan masuk Neraka secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan ditambah dan dikurangi.

[44] وَكَذَلِكَ أَفْعَالُهُمْ فِيمَا عَلِمَ مِنْهُمْ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، وَالأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ، وَالسَّعِيدُ مَنْ سَعِدَ بِقَضَاءِ اللهِ، والشَّقِيُّ مَنْ شَقِيَ بِقَضَاءِ اللهِ.

[44] Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah). Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi takdirnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang bahagia karena ketetapan Allah dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara karena ketetapan Allah.

[45] وَأَصْلُ القَدَرِ سِرُّ اللهِ فِي خَلْقِهِ، لَمْ يَطَّلِعْ عَلَىٰ ذَلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ، وَالتَّعَمُّقُ وَالنَّظَرُ فِي ذَلِكَ ذَرِيعَةُ الخِذْلَانِ، وسُلَّمُ الحِرْمَانِ، وَدَرَجَةُ الطُّغْيَانِ، فَالحَذَرَ كُلَّ الحَذَرِ مِنْ ذَلِكَ نَظَرًا وَفِكْرًا وَوَسْوَسَةً، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ طَوَى عِلْمَ القَدَرِ عَنْ أَنَامِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23]، فَمَنْ سَأَلَ: لِمَ فَعَلَ؟ فَقَدْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ، وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الكِتَابِ؛ كَانَ مِنَ الكَافِرِينَ.

[45] Asal dari takdir adalah rahasia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki baik oleh malaikat yang dekat  dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Hati-hatilah dengan kesungguhan dari seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang takdir tersebut karena Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya tetapi manusialah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya).” (QS. Al-Anbiya [21]: 23) Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikan?” berarti ia menolak hukum al-Qur`an. Barangsiapa menolak hukum al-Qur`an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

[46] فَهَذَا جُمْلَةُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مَنْ هُوَ مُنَوَّرٌ قَلْبُهُ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ تَعَالَىٰ، وَهِيَ دَرَجَةُ الرَّاسِخِينَ فِي العِلْمِ؛ لِأَنَّ العِلْمَ عِلْمَانِ: عِلْمٌ فِي الخَلْقِ مَوْجُودٌ، وَعِلْمٌ فِي الخَلْقِ مَفْقُودٌ، فَإِنْكَارُ العِلْمِ المَوْجُودِ كُفْرٌ، وَادِّعَاءُ العِلْمِ المَفْقُودِ كُفْرٌ، وَلَا يَثْبُتُ الإِيمَانُ إِلَّا بِقَبُولِ العِلْمِ المَوْجُودِ، وَتَرْكِ طَلَبِ العِلْمِ المَفْقُودِ.

[46] Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terang hatinya dari kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Sebab, ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu maujud/wahyu) dan ilmu yang tersembunyi baginya (ilmu mafqud/ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama adalah kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan tidak akan sempurna kecuali dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang tersembunyi.

10. Tentang Lauhul Mahfuzh dan Pena

[47] وَنُؤْمِنُ بِاللَّوْحِ وَالقَلَمِ، وَجَمِيعُ مَا فِيهِ قَدْ رُقِمَ،  فَلَوِ اجْتَمَعَ الخَلْقُ كُلُّهُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَىٰ أَنَّهُ كَائِنٌ، لِيَجْعَلُوهُ غَيْرَ كَائِنٍ؛ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. وَلَوِ اجْتَمَعُوا كُلُّهُمْ عَلَىٰ شَيْءٍ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَىٰ فِيهِ أَنَّهُ غَيْرُ كَائِنٍ، لِيَجْعَلُوهُ كَائِنًا؛ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. جَفَّ القَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَا أَخْطَأَ العَبْدَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ، وَمَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ.

[47] Kita juga mengimani adanya  al-Lauh al-Mahfudz (lembaran takdir), al-Qalam (pena), dan segala yang tercatat di dalamnya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan akan terjadi untuk dibatalkannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan tidak akan terjadi untuk direalisasikannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Pena untuk mencatat apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat telah kering. Apa yang tidak menjadi takdir seorang hamba, tidak akan menimpanya dan apa yang menjadi takdirnya, tidak akan meleset darinya.

[48] وَعَلَىٰ العَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ سَبَقَ عِلْمُهُ فِي كُلِّ كَائِنٍ مِنْ خَلْقِهِ، فَقَدَّرَ ذَلِكَ بِمَشِيئَتِهِ تَقْدِيرًا مُحْكَمًا مُبْرَمًا، لَيْسَ فِيهِ نَاقِضٌ، وَلَا مُعَقِّبٌ وَلَا مُزِيلٌ وَلَا مُغَيِّرٌ وَلَامُحَوِّلٌ، وَلَا زَائِدٌ وَلَا نَاقِصٌ مِنْ خَلْقِهِ فِي سَمَاوَاتِهِ وَأَرْضِهِ. وَذَلِكَ مِنْ عَقْدِ الإِيمَانِ وَأُصُولِ المَعْرِفَةِ وَالِاعْتِرَافِ بِتَوْحِيدِ اللهِ تَعَالَىٰ وَرُبُوبِيَّتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا} [الفرقان: 2]، وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا} [الأحزاب: 38]، فَوَيْلٌ لِمَنْ صَارَ لِلَّهِ فِي القَدَرِ خَمِيصًا، وأَحْضَرَ لِلنَّظَرِ فِيِهِ قَلْبًا سَقِيمًا، لَقَدِ الْتَمَسَ بِوَهْمِهِ فِي فَحْصِ الغَيْبِ سِرًّا كَتِيمًا، وَعَادَ بِمَا قَالَ فِيهِ أَفَّاكًا أَثِيْمًا.

[48] Wajib bagi setiap hamba mengetahui bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang dapat membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, mengurangi, ataupun menambahnya.

Itulah ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dan rububiyyah-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur`an:  “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2Dan firman-Nya: “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 38) Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya. Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi. Akhirnya, karena perkataannya tentang takdir itu, ia kembali dengan membawa kedustaan dan dosa.

11. Tentang Arsy dan Kursi

[49] وَالعَرْشُ وَالكُرْسِيُّ حَقٌّ، كَمَا بَيَّنَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ.

[49] ‘Arsy dan Kursi-Nya adalah benar adanya, sebagaimana yang Allah kabarkan dalam Al-Quran.

 [50] وَهُوَ جَلَّ جَلَالُهُ مُسْتَغْنٍ عَنِ العَرْشِ وَمَا دُوْنَهُ.

[50] Dia tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan apa yang ada di bawahnya.

[51] مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وفَوْقَهُ، وَقَدْ أَعْجَزَ عَنِ الإِحَاطَةِ خَلْقَهُ.

[51] Dia menguasai segala sesuatu dan apa-apa yang ada di atasnya. Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala sesuatu.

12. Tentang Al-Khalil Ibrahim dan Kalimullah Musa

[52] وَنَقُولُ: إِنَّ اللهَ اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا، إِيمَانًا وَتَصْدِيقًا وَتَسْلِيمًا.

[52] Kita juga meyakini bahwa Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi Musa ‘alaihis salam untuk berbicara dengan sebenar-benarnya ucapan.

13. Tentang Rukun Iman

[53] وَنُؤْمِنُ بِالمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ، وَالكُتُبِ المُنْزَلَةِ عَلَىٰ المُرْسَلِينَ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَىٰ الحَقِّ المُبِينِ.

[53] Kita mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.

[54] وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ  مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ.

[54] Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum Muslimin dan kaum Mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah  dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.

14. Tentang Larangan Debat Kusir

[55] وَلَا نَخُوضُ فِي اللهِ، وَلَا نُمَارِي فِي الدِّينِ.

[55] Kita tidak mengolok Allah dan tidak membantah (debat kusirdalam masalah agama Allah.

[56] وَلَا نُجَادِلُ فِي القُرْآنِ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ العَالَمِينَ، نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ، فَعَلَّمَهُ سَيِّدَ المُرْسَلِينَ مُحَمَّدًا ، كَلَامُ اللهِ تَعَالَىٰ لَا يُسَاوِيهِ شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ المَخْلُوقِينَ، وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ، وَلَا نُخَالِفُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ.

[56] Kita tidak menyanggah Al-Qur’an, dan kita bersaksi bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin, diturunkan lewat Ruhul Amin (Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu para Nabi yaitu Muhammad . Ia adalah Kalamullah yang tak akan dapat disamakan dengan ucapan makhluk-makhluk-Nya. Kita pun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) kita tidak akan menyelisihi Jama’ah kaum Muslimin.

15. Tentang Mengkafirkan

[57] وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ بِذَنْبٍ، مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ.

[57] Kita tidak mengkafirkan Ahli Kiblat (kaum Muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya halal.

[58] وَلَا نَقُولُ لَا يَضُرُّ مَعَ الإِيمَانِ ذَنْبٌ لِمَنْ عَمِلَهُ.

[58] Namun kita juga tidak mengatakabahwa dosa bersama iman, sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya.

[59] وَنَرْجُو لِلْمُحْسِنِينَ مِنَ المُؤْمِنِينَ [أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَيُدْخِلَهُمُ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ]، وَلَا نَأْمَنُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نَشْهَدُ لَهُمْ بِالجَنَّةِ، وَنَسْتَغْفِرُ لِمُسِيئِهِمْ، وَنَخَافُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نُقَنِّطُهُمْ.

[59] Kita berharap orang-orang baik dari kaum Mukminin [diampuni dan dimasukkan Surga dengan rahmat-Nya], tidak menganggap mereka aman dan memvonis mereka dengan Surga. Kita juga berharap orang-orang yang berbuat fajir (kemaksiatan) dari kalangan Mukminin diampuni dosa-dosa mereka, mengkhawatirkan mereka, dan tidak menjadikan mereka berputus asa (dari rahmat Allah).

[60] وَالأَمْنُ وَالإِيَاسُ يَنْقُلَانِ عَنْ مِلَّةِ الإِسْلَامِ، وَسَبِيلُ الحَقِّ بَيْنَهُمَا لِأَهْلِ القِبْلَةِ.

[60] Merasa aman (dari siksa) dan putus asa (dari ampunan Allah), keduanya dapat mengeluarkan dari Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya.

[61] وَلَا نُخْرِجُ العَبْدَ مِنَ الإِيمَانِ إِلَّا بِجُحُودِ مَا أَدْخَلَهُ فِيهِ.

[61] Seorang hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia imani.

16. Tentang Definisi Iman

[62] وَالإِيمَانُ: هُوَ الإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالجَنَانِ.

[62] Iman adalah pengakuan dengan lisan, dan pembenaran dengan hati.

[63] وَإِنَّ جَمِيعَ مَا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِي القُرْآنِ وَجَمِيعَ مَا صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ  مِنَ الشَّرْعِ وَالبَيَانِ كُلُّهُ حَقٌّ.

[63] Seluruh yang Allah turunkan dalam Al-Quran dan seluruh diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah  berupa syari’at dan bayan (ilmu) adalah benar adanya.

[64] وَالإِيمَانُ وَاحِدٌ، وَأَهْلُهُ فِي أَصْلِهِ سَوَاءٌ، وَالتَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالتَّقْوَى، وَمُخَالِفَةِ الهَوَى.

[64] Iman itu satu. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya adalah samaKeutamaan di antara mereka diukur dengan ketakwaan, menghindari hawa nafsu.

[65] وَالمُؤْمِنُونَ كُلُّهُمْ أَوْلِيَاءُ الرَّحْمٰنِ، وَأَكْرَمُهُمْ عِنْدَ الله أَطْوَعُهُمْ وَأَتْبَعُهُمْ لِلْقُرْآنِ.

[65] Kaum Mukminin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman. Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat dan paling mengikuti ajaran Al-Qur’an.

[66] وَالإِيمَانُ: هُوَ الإِيمَانُ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِه، وَكُتُبِه، وَرُسُلِه، وَاليَوْمِ الآخِرِ، وَالقَدَرِ، خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَحُلْوِهِ وَمُرِّهِ، مِنَ اللهِ تَعَالَىٰ.

[66] Iman adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir: baik maupun buruk, manis maupun pahit, semuanya berasal dari Allah.

[67] وَنَحْنُ مُؤْمِنُونَ بِذَلِكَ كُلِّهِ، لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ، وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَىٰ مَا جَاءُوا بِهِ.

[67] Kita mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.

17. Tentang Dosa Besar

[68] وَأَهْلُ الكَبَائِرِ فِي النَّارِ لَا يُخَلَّدُونَ؛ إِذَا مَاتُوا وَهُمْ مُوَحِّدُونَ، وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا تَائِبِينَ بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللهَ عَارِفِينَ. وَهُمْ فِي مَشِيئَتِهِ وَحُكْمِهِ: إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ وَعَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِهِ، كَمَا ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ: {وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ} [النساء: 48]، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ فِي النَّارِ بِعَدْلِهِ، ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِهِ وَشَفَاعَةِ الشَّافِعِينَ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِهِ، ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَىٰ جَنَّتِهِ، وَذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَىٰ مَوْلَى أَهْلَ مَعْرِفَتِهِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُمْ فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نُكْرَتِهِ، الَّذِينَ خَابُوا مِنْ هِدَايَتِهِ، وَلَمْ يَنَالُوا مِنْ وَلَايَتِهِ. اللَّهُمَّ يَا وَلِيَ الإِسْلَامِ وَأَهْلِه، مَسِّكْنَا بِالإِسْلَامِ حَتَّى نَلْقَاكَ بِهِ.

[68] Para pelaku dosa besar, jika masuk Neraka, mereka tak akan kekal di dalamnya, asal mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun pula, mereka belum bertaubat, tetapi mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah azza wa jalla: “Dia mengampuni dosa (yang tingkatannya) di bawah (dosa) syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48 & 116). Dan jika Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di Neraka dengan keadilan-Nya, lalu Allah akan mengeluarkan mereka darinya dengan rahmat-Nya atau dikeluarkaan dengan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke Surga-Nya. Hal itu karena Allah adalah pelindung bagi siapa yang mengenal-Nya. Dia pun tidak menjadikan keadaan mereka (beriman) di dunia dan di Akhirat sama dengan mereka yang tidak mengenal-Nya. Yaitu mereka yang luput, tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak dapat memperoleh hak perlindungan-Nya. Wahai Dzat yang menjadi pelindung bagi Islam dan pemeluknya, teguhkanlah kami di atas Islam sampai bertemu dengan-Mu.

18. Tentang Shalat di Belakang Fajir

[69] وَنَرَى الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ، وَعَلَىٰ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ.

[69] Kami menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang imam (pemimpin) yang shalih maupun yang fasik dari kalangan Ahli Kiblat dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.

[70] وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَلَا نَارًا، وَلَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلَا بِشِرْكٍ وَلَا بِنِفَاقٍ؛ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَىٰ.

[70] Kita tak boleh memastikan mereka masuk Surga atau Neraka. Kita juga tidak boleh bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik, atau munafik, selama semua itu tidak tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah Ta’ala.

19. Tentang Memberontak dan Membunuh

[71] وَلَا نَرَى السَّيْفَ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ  إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ.

[71] Kita tidak boleh memerangi seorang pun dari ummat Muhammad , kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.

[72] وَلَا نَرَى الخُرُوجَ عَلَىٰ أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا، وَإِنْ جَارُوا، وَلَا نَدْعُو عَلَيْهِمْ، وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَة اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَةً، مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَة، وَنَدْعُوا لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالمُعَافَاةِ.

[72] Kita tidak boleh memberontak para pemimpin dan penguasa kita, meskipun mereka berbuat zhalim. Kita tidak mendoakan keburukan bagi mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka berupa kebaikan jiwa dan kesehatan.

[73] وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالخِلَافَ وَالفُرْقَةَ.

[73] Kita tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari kesendirian, perselisihandan perpecahan.

[74] وَنُحِبُّ أَهْلَ العَدْلِ وَالأَمَانَةِ، ونَبْغَضُ أَهْلَ الجَوْرِ وَالخِيَانَةِ.

[74] Kita mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan khianat.

20. Tentang Ucapan Allahu A’lam

[75] وَنَقُولُ: اللهُ أَعْلَمُ، فِيمَا اشْتَبَهَ عَلَيْنَا عِلْمُهُ.

[75] Kita mengucapkan Allahu A’lam terhadap sesuatu yang masih samar ilmunya bagi kita.

21. Tentang Mengusap Khufain

[76] وَنَرَى المَسْحَ عَلى الخُفَّيْنِ، فِي السَّفَرِ وَالحَضَرِ، كَما جَاءَ فِي الأَثَرِ.

[76] Kita berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu/kaos kaki) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian), sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.

22. Tentang Haji dan Jihad Bersama Pemimpin

[77] وَالحَجُّ وَالجِهَادُ فَرْضَانِ مَاضِيَانِ مَعَ أُولِي الأَمْرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ، إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ، لَا يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلَا يَنْقُضُهُمَا.

[77] Jihad dan ibadah haji dilakukan bersama Ulul ‘Amri dari kaum Muslimin, baik yang shalih maupun yang fasik, hingga hari Kiamat. Keduanya tak dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.

23. Tentang Malaikat Pencatat

[78] وَنُؤْمِنُ بِالكِرَامِ الكَاتِبِينَ، وَأَنَّ اللهَ قَدْ جَعَلَهُمْ عَلَيْنَا حَافِظِينَ.

[78] Kita mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.

24. Tentang Malaikat Maut

[79] وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ المَوْتِ المُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ العَالَمِينَ.

[79] Kita juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.

25. Tentang Adzab Kubur

[80] وَبِعَذَابِ القَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلًا، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ فِي قَبْرِه عَنْ رَبِّهِ وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ، عَلَىٰ مَا جَاءَتْ بِهِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللهِ ، وَعَنِ الصَّحَابَة رَضِيَ اللهُ عَنهُمْ أَجْمَعِينَ.

[80] Kita pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kuburnya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Rasul-Nya berdasarkan riwayat-riwayat dari Rasulullah  serta para sahabat  rodhiyallahu ‘anhum ajmain.

[81] وَالقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجنَّةِ، أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النِّيرَانِ.

[81] Alam kubur adalah taman-taman Surga atau jurang-jurang Neraka.

26. Tentang Hari Kebangkitan

[82] وَنُؤْمِنُ بِالبَعْثِ وَجَزَاءِ الأَعْمَالِ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَالعَرْضِ وَالحِسَابِ، وَقِرَاءَةِ الكِتَابِ، وَالثَّوَابِ وَالعِقَابِ، وَالصِّرَاطِ وَالمِيزَانِ.

[82] Kita juga mengimani Hari Kebangkitan dan balasan amal perbuatan pada hari Kiamat, kita juga mengimani ‘ard (ditampakkannya amal perbuatan) dan hisab, pembacaan catatan amal, pahala dan siksa, shirat (jembatan yang membentang di punggung Neraka menuju Surga), dan al-mizan (timbangan).

27. Tentang Kekekalan Surga dan Neraka

[83] وَالجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ، لَا تَفْنَيَانِ أَبَدًا وَلَا تَبِيدَانِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ خَلَقَ الجَنَّةَ وَالنَّارَ قَبْلَ الخَلْقِ، وَخَلَقَ لَهُمَا أَهْلًا، فَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى الجَنَّةِ فَضْلًا مِنْهُ، وَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى النَّارِ عَدْلًا مِنْهُ، وَكُلٌّ يَعْمَلُ لِمَا قَدْ فُرِغَ لَهُ، وَصَائِرٌ إِلَى مَا خُلِقَ لَهُ.

[83] Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang tidak akan lenyap selamanya dan tidak akan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Surga dan Neraka sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun sudah menentukan penghuni bagi keduanya. Siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Surga maka itu karunia dari-Nya dan siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Neraka maka itu keadilan dari-Nya. Masing-masing manusia beramal sesuai takdirnya dan menjadi sesuai untuk apa penciptaannya.

28. Tentang Takdir Baik dan Buruk

[84] وَالخَيْرُ وَالشَّرُّ مُقَدَّرَانِ عَلَىٰ العِبَادِ.

[84] Kebaikan dan keburukan seluruhnya telah ditakdirkan atas para hamba.

[85] وَالِاسْتِطَاعَةُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا الِاسْتِطَاعَةُ الَّتِي يَجِبُ بِهَا الفِعْلُ - مِنْ نَحْوِ التَّوْفِيقِ الَّذِي لَا يَجُوزُ أَنْ يُوصَفُ المَخْلُوقُ بِهِ -: فَهِيَ مَعَ الفِعْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِطَاعَةُ مِنْ جِهَةِ الصِّحَّةِ وَالوُسْعِ، وَالتَّمْكِينِ وَسَلَامَةِ الآلَاتِ: فَهِيَ قَبْلَ الفِعْلِ، وَبِهَا يَتَعَلَّقُ الخِطَابُ، وَهُوَ كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286].

[85] Kemampuan itu ada dua: (pertama) kemampuan yang menyebabkan terjadi perbuatan —semacam taufik yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk— ia terjadi menyertai perbuatan. (Kedua) adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, ia terjadi sebelum melakukan amalan. Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah: Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 286)

[86] وَأَفْعَالُ العِبَادِ خَلْقُ اللهِ، وَكَسْبٌ مِنَ العِبَادِ.

[86] Perbuatan-perbuatan para hamba adalah makhluk Allah, sementara usaha dari para hamba.

[87] وَلَمْ يُكَلِّفْهُمُ اللهُ تَعَالَىٰ إِلَّا مَا يُطِيقُونَ، وَلَا يُطِيقُونَ إِلَّا مَا كَلَّفَهُمْ، وَهُوَ تَفْسِيرُ«لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ»، نَقُولُ: لَا حِيلَةَ لِأَحَدٍ وَلَا تَحَوُّلَ لِأَحَدٍ وَلَا حَرَكَةَ لِأَحَدٍ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛ إِلَّا بِمَعُونَةِ اللهِ، وَلَا قُوَّةَ لِأَحَدٍ عَلَىٰ إِقَامَةِ طَاعَةِ اللهِ وَالثَّبَاتِ عَلَيْهَا؛ إِلَّا بِتَوْفِيقِ اللهِ.

[87] Allah hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Mereka pun memang tidak akan mampu melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah pengertian kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tidak ada upaya bagi seorang pun, dan tidak ada gerakan bagi seorang pun, juga tidak ada daya bagi seorang pun dari (menjauhi) maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Tidak ada kekuatan bagi seorang pun untuk melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah melainkan dengan taufik (pertolongan) Allah.

[88] وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِمَشِيئَةِ اللهِ تَعَالَىٰ وَعِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ، غَلَبَتْ مَشيئتُهُ المَشِيئَاتِ كُلَّهَا، وَغَلَبَ قَضَاؤُهُ الحِيَلَ كُلَّهَا، يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ، وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ أَبَدًا، [تَقَدَّسَ عَنْ كُلِّ سُوْءٍ وَحِينٍ، وتَنَـزَّهَ عَنْ كُلِّ عَيْبٍ وَشَيْنٍ]: {لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23].

[88] Segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, ilmu-Nya, keputusan-Nya, dan takdir-Nya. Kehendak-Nya mengalahkan seluruh kehendak. Takdirnya mengalahkan seluruh upaya. Dia berbuat sekehendak-Nya tanpa zhalim selama-lamanya. Dia tersucikan dari semua keburukan dan kejahatan, dan tersucikan dari segala aib dan kekurangan. “Tidaklah Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka perbuat).” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 23)

29. Tentang Doa dan Sedekah untuk Si Mayit

[89] وَفِي دُعَاءِ الأَحْياءِ وَصَدَقَاتِهم مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَات.

[89] Do’a dan sedekah orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit.

[90] وَاللَّهُ تَعَالَىٰ يَسْتَجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَقْضِي الحَاجَاتِ.

[90] Allah Ta’ala mengabulkan segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya.

[91] وَيَمْلِكُ كُلَّ شَيْءٍ، وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ، وَلَا غِنَى عَنِ اللهِ تَعَالَىٰ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنِ اللهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ؛ فَقَدْ كَفَرَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الحَيْنِ.

[91] Dia memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejap pun (hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejap pun, dia telah kafir dan termasuk orang yang binasa.

30. Tentang Allah Benci dan Ridha

[91] وَاللَّهُ يَغْضَبُ وَيَرْضَى، لاَ كَأَحَدٍ مِنَ الوَرَى.

[92] Allah benci dan ridha, tetapi sifat tersebut tidak mirip sama sekali dengan sifat makhluk.

31. Tentang Sahabat

[93] وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ ، وَلَا نُفْرِطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ، وَبِغَيْرِ الخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ، وَلَا نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. وَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ.

[93] Kita mencintai para sahabat Nabi , namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya. Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka. Kita membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa yang menyebutkan mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan, dan ihsansementara membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.

[94] وَنُثْبِتُ الخِلَافَةَ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ  أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، تَفْضِيلًا لَهُ وَتَقْدِيمًا عَلَىٰ جَمِيعِ الأُمَّةِ، ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ ، ثُم لِعُثْمَانَ ، ثُمَّ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، وَهُمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشدُونَ وَالأَئِمَّةُ المَهْدِيُّونَ.

[94] Kita mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah . Yang pertama adalah Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu karena keutamaannya dan keterdahuluannya atas semua umat Islam. Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Merekalah yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.

[95] وَإِنَّ العَشَرَةَ الَّذِينَ سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللهِ  وَبَشَّرَهُمْ بِالجَنَّةِ، نَشْهَدُ لَهُمْ بِالجَنَّةِ، عَلَىٰ مَا شَهِدَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ ، وَقَوْلُهُ الحَقُّ، وَهُمْ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَطَلْحَةُ، وَالزُّبَيْرُ، وَسَعْدٌ، وَسَعِيدٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الجَرَّاحِ، وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ.

[95] Sepuluh orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni Surga, kita akui sebagai penghuni Surga berdasarkan persaksian Nabi , dan perkataan beliau adalah benar. Mereka adalah: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubair [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah sebagai orang terpercaya umat ini radhiyallahu ‘anhum.

[96] وَمَنْ أَحْسَنَ القَوْلَ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ، وَأَزْوَاجِهِ [الطَّاهِرَاتِ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ]، وَذُرِّيَّاتِهِ [المُقَدَّسِينَ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ]؛ فَقَدَ بَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ.

[96] Barangsiapa yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi  dan istri-istri beliau [yang bersih dari segala noda] serta anak cucu beliau [yang suci dari segala najis], maka orang itu telah selamat dari kemunafikan.

32. Tentang Tabiin

[97] وَعُلَمَاءُ السَّلَفِ مِنَ السَّابِقِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ - أَهْلِ الخَيْرِ وَالأَثَرِ، وَأَهْلِ الفِقْهِ وَالنَّظَرِ - لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالجَمِيلِ، وَمَنْ ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَىٰ غَيْرِ السَّبِيلِ.

[97] Para ‘ulama As-Salaf terdahulu (para sahabat) dan yang sesudah mereka dari kalangan Tabi’in —baik ahli kebaikan, ahli hadits, ahli fiqih, maupun ahli ushul mereka semuanya harus disebut dengan baik. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di atas jalan yang benar.

33. Tentang Wali Allah

[98] وَلَا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الأَوْلِيَاءِ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ [عَلَيْهِمُ السَّلَامُ]، وَنَقُولُ: نَبِيٌّ وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيعِ الأَوْلِيَاءِ.

[98] Kita tidak mengutamakan salah seorang pun di antara para wali Allah di atas seorang dari para Nabi ‘Alaihimus Sallam. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama dibanding seluruh para wali.

[99] وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِم، وَصَحَّ عَنِ الثِّقَاتِ مِنْ رِوَايَاتِهِم.

[99] Kita mengimani adanya karomah-karomah mereka dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari para perawi yang tepercaya.

34. Tentang Tanda Kiamat

[100] وَنُؤْمِنُ بِـ[أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: مِنْ] خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى بْنِ مَرْيَمَ [عَلَيْهِ السَّلامُ] مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأَرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا.

[100] Kita juga mengimani adanya [tanda-tanda hari Kiamat berupa] keluarnya Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis Sallam dari langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Dabbah (binatang yang dapat berbicara seperti manusiadari kediamannya.

35. Tentang Dukun dan Tukang Ramal

[101] وَلاَ نُصَدِّقُ كَاهِنًا وَلاَ عَرَّافًا، وَلاَ مَنْ يَدَّعِي شَيْئًا يُخَالِفُ الكِتَابَ والسُّنَّةَ وإجْمَاعَ الأُمَّةِ.

[101] Kita tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum Muslimin.

36. Tentang Jamaah dan Perpecahan

[102] وَنَرَى الجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَابًا، والفُرْقَةَ زَيْغًا وَعَذَابًا.

[102] Kita meyakini bahwa Al-Jama’ah adalah haq dan kebenaran, sementara pepecahan adalah penyimpangan dan siksaan.

37. Tentang Agama Para Nabi

[103] وَدِينُ اللهِ فِي الأَرْضِ وَالسَّمَاءِ وَاحِدٌ، وَهُوَ دِينُ الإِسْلَامِ، قَالَ اللهُ تَعَالَىٰ: {إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلَامُ} [آل عمران: 19]، وَقَالَ تَعَالَىٰ: {وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3].

[103] Agama Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu agama Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) Dia juga berfirman: “Dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

[104] وَهُو بَيْنَ الغُلُوِّ والتَّقْصِيرِ، وَبَيْنَ التَّشْبِيهِ والتَّعْطِيلِ، وَبَيْنَ الجَبْرِ وَالقَدَرِ، وَبَيْنَ الأَمْنِ وَالإِيَاسِ.

[104] Islam itu berada di antara sikap berlebih-lebihan (guluwdan sikap meremehkan (taqshir), antara tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan ta’thil (menafikkan/meniadakan makna/lafazh sifat-sifat itu), antara Jabariyah (kaum yang beranggapan manusia dipaksa takdir) dan Al-Qadariyah (kaum yang beranggapan keburukan bukan takdir), dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus asa dari rahmat Allah.

[105] فَهَذَا دِينُنَا وَاعْتِقَادُنَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَنَحْنُ بُرَآءُ إِلَى اللهِ مِنْ كُلِّ مَنْ خَالَفَ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ وَبَيَّنَّاهُ، وَنَسْأَلُ اللهَ تَعَالَىٰ أَنْ يُثَبِّتَنَا عَلَىٰ الإِيمَانِ، وَيَخْتِمَ لَنَا بِهِ، وَيَعْصِمَنَا مِنَ الأَهْوَاءِ المُخْتَلِفَةِ، وَالآرَاءِ المُتَفَرِّقَةِ، وَالمَذَاهِبِ الرَّدِيَّةِ، مِثْلِ المُشَبِّهَةِ، [وَالمُعْتَزِلَةِ]، وَالجَهْمِيَّةِ، وَالجَبَرِيَّةِ، وَالقَدَرِيَّةِ، وَغَيْرِهِا، مِنَ الَّذِينَ خَالَفُوا [السُّنَّةَ وَ]الجَمَاعَةَ، وَحَالَفُوا الضَّلَالَةَ، وَنَحْنُ مِنْهُمْ بُرَآءُ، وَهُمْ عِنْدَنَا ضُلَّالٌ وَأَرْدِيَاءُ.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ، وَإِلَيْهِ المَرْجِعُ وَالمَآبُ.

[105] Inilah agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri dengan kembali kepada Allah dari setiap yang menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita memohon kepada Allah untuk menetapkan diri kita di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam, dan dari pendapat-pendapat yang beraneka ragam, dan madzhab-madzhab yang jelek, seperti: Musyabbiah, [Mu’tazilah,] Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah, Al-Qadariyyah, dan lain-lain, dari kalangan mereka yang menyelisihi Al-Jama’ah (Jamaah Sahabat) dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan mereka menurut kami adalah orang-orang sesat dan jahat.

Allah lebih tahu kebenarannya, dan hanya kepada-Nya tempat kembali dan berkumpul.

Penentuan Awal Ramadahan

Assalamu'alaikum ijin bertanya ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaiman...